Flower

Flower
pic: https://id.pinterest.com/pin/431923420490335661/

Thursday, June 15, 2017

SEMINAR PENGEMBANGAN DIRI

Selasa, 13 Juni 2017, mahasiswa/i Fakultas Psikologi Universitas Pancasila menghadiri Seminar Pengembangan Diri yang mendatangkan dua narasumber yaitu Bapak Dasep Suryanto (Head of Corporate Human Capital Operations) dan Mba Theoresia Rumthe (Writer & Public Speaker).

Sesi Pertama dibawakan oleh Bapak Dasep. Beliau bekerja di Kawan Lama Group, yang sudah berdiri 62 tahun dan kini memiliki 26.000 karyawan di seluruh Indonesia. Kawan Lama Group memulai karir di bidang industrial dan memiliki beberapa merek terkenal seperti ACE Hardware, Krisbow, Informa, Toys Kingdom, dan Chatime yang terebar luas dari Aceh-Ambon dengan total 486 gerai. Kini bisnis Kawan Lama Group sudah berkembang dengan memiliki merek PT. Tiga Dua Delapan yang berkelut di bidang pembangunan mall, salah satu mall yang sudah dibangun yaitu Living World di Alam Sutera.
Membangun bisnis selama 62 tahun tidaklah mudah, dan salah satu faktor utama yang membuat Kawan Lama Group dapat bertahan sampai saat ini adalah Budaya Organisasi yang diterapkan dalam perusahaan.

Kawan Lama Group memiliki 5 fokus utama dalam Budaya Organisasinya yaitu People, Service, Location, Ways of Work, dan Product.

- People -->  SDM yang bekerja di Kawan Lama Group harus memiliki nilali ELITE yaitu :
- Excellence, yaitu setiap karyawan harus memberikan yang terbaik dalam bidangnya
- Leadership, yaitu setiap karyawan harus memiliki inisiatif yang kuat
- Integrity, yaitu setiap karyawan harus mengerjakan tugas sesuai peraturan yang ada dan akan ada penerapan punishment pada karyawan yan tidak bekerja sesuai kewenangannya
- Teamwork, yaitu seluruh karyawaan harus memiliki kemampuan bekerjasama
- Enhusiasm, yaitu seluruh karyawan harus dapat bekerja dengan cepat dan bekerja keras
Service --> SDM yang bekerja harus memiliki nilai HELPFUL, kurang lebih harus ramah dan mampu memberikan pelayanan yang baik kepada pelanggan
Location --> Lokasi dan suasana tempat usaha harus memiliki nilai COZY, yaitu nyaman dan dapat memfasilitasi kebutuhan pelanggan
Ways of work --> SDM yang bekerja harus memiliki nilai SBF, yaitu Smarter, Breaver, dan Faster
Product --> Produk yang diperdagangkan harus memiliki nilai QSM, yaitu berkualitas baik.

Dalam menjalankan karir, Bapak Dasep memiliki pesan untuk bekerja dengan proses layaknya sebuah diamond (intan), yang melewati proses untuk mendapatkan  batuan yang cantik dan indah. Dalam berkarir sebaiknya menerapkan 3D :
- Difference --> Jadilah pribadi yang berbeda dan unggul, karena yang biasa akan binasa. Menjadi pribadi yang berbeda dapat dilakukan dengan memperkaya kemampuan bahasa, public speaking, dan systematical thinking (in-process-out), dan menguasai bisnis.
- Dream big --> Seseorang dapat memperlihatkan kehebatan dirinya dngan baik ketika memiliki mimpi. Kita sudah harus menentukan bagaimana karir kita kedepannya, dan perencanaan harus dibuat sebaik mungkin.
- Dare to fight for dreams --> Kita harus tangguh karena dalam menjalani karir pasti akan bertemu dengan kendala, ketika tidak melakukan fight maka karir akan stagnan.

Pesan terakhir dari Bapak Dasep yaitu, bekerjalah sesuai bidang dan kemampuan dan jangan menginginkan yang instan, karena seperti pepatah, akan ada masa menanam dan akan ada masa memanen, yaitu akan ada masa sebagai karyawan biasa dan jabatan yang lebih baik di masa depan kaau kita bekerja dengan baik.

Kemudian seminar dianjutkan oleh Mba Theoresia yang melanjutkan pembahasan kemampuan public speaking dalam dunia kerja. Mennuru Mba Theo, public speaking merupakan seni menyihir orang lain, dimana kita harus emiliki kepercayaan diri untuk melakukannya. Kepercayaan diri dapat dibangun dengan menjadikan diri kita menarik. Untuk menjadi menarik, yang dapat dilakukan yaitu :
- Menggunakan vokal dan suara yang bulat, jelas, dengan intonasi yang beragam agar orang yang mendengarkan kita berbicara menjadi tertarik dan mau mendengar apa yang kita bicarakan
- Mengatur nafas dan jeda antar kata
- Mengatur postur tubuh karena postur ikut mempresentasikan konten yang ingin disampaikan, jangan bungkuk dan melakukan bad habit (seperti memainkan rambut, terlihat panik dan tegang)
- Buatlah eye contact sebanyak mungkin dengan audience agar pesan yang ingin kita sampaikan dapat terasampaikan secara emosional. Jangan pernah melakukan audience layaknya benda mati.
- Bicaralah dengan smiling voice, ketika berbicara sambil tersenyum maka nada yang dihasilkan akan lebih tinggi dan suara akan lebih renyah, mata akan lebih berbinar, daan akan lebih terlihat manis
- Konten yang dibicarakan jangan berbelit-belit, kitaharus tau tujuan kita berbicara itu apa, dan kita harus melakukan preparation yang matang


Terkait dengan isi seminar, terutama terkait strategi berkarir, ternyata sangat berkaitan dengan budaya organisasi dari tempat kerja. Berikut adalah salah satu bentuk nyata hubungan karir dengan budaya organisasi suatu perusahaan : 


Seorang pekerja perusahaan elektronik Korea Selatan, Samsung asal Cina ditangkap dengan tuduhan berupaya membocorkan informasi bisnis penting
Pekerja yang diketahui seorang wanita berusia 40 tahun itu diduga mengambil gambar dokumen rahasia yang berisi rencana penjualan dan teknologi penting dan menyimpan foto tersebut di dalam komputer pribadinya.

Wanita yang identitasnya tidak diketahui ini telah bekerja untuk unit peralatan rumah tangga Samsung sejak 2007 dan baru-baru ini ditawari pekerjaan oleh sebuah perusahaan elektronik Cina.''Kontraknya akan segera habis ketika dia mengunduh dari komputer pusat data, mencetaknya dan mengambilnya,'' kata Lee Cheon-Sei, seorang kepala jaksa kepada kantor berita AFP.


''Sejumlah informasi rahasia yang dibocorkan itu termasuk teknologi penting Samsung untuk mengurangi bunyi dari peralatan rumah tangga, rincian produk yang tengah dikembangkan dan rencana penjualan untuk 10 tahun kedepan,'' kata Kee.
''Kami kira informasi rahasia itu belum diserahkan ke perusahaan lain, tetapi kami akan menyelidikinya,'' tambah Lee.
Pekerja itu ditangkap akhir pekan lalu setelah jaksa menemukan bukti kuat di rumahnya saat penggerebekan.
Seorang juru bicara Samsung, salah satu perusahaan terbesar pembuat TV dan monitor layar datar ini mengkonfirmasikan kalau kasus ini benar terjadi dan si wanita pekerja itu telah dipecat dari perusahaan.
Pembocor informasi rahasia bisnis ke perusahaan asing di Korea terancam hukuman 10 tahun penjara.
Kejaksaan Korea Selatan dalam beberapa tahun terakhir telah menginvestigasi sejumlah kasus pembocoran informasi teknologi atau bisnis ke perusahaan domestik atau asing.
Februari silam, dua orang didakwa karena mencuri data penting Samsung dan menjualnya ke sebuah perusahaan peralatan rumah tangga Cina.

Analisa kasus :

Kasus di atas membahas tentang integritas kerja seorang karyawan Samsung yang rendah, dapat dilihat dari perilakunya yang tidak menjaga rahasia perusahaan. Padahal samsung memiliki budaya organisasi yang mengutamakan staff-nya. Samsung menghargai manusia dengan segala pemikirannya sehingga selalu mengupayakan peningkatan kualitas para pekerjanya dengan menciptakan situasi yang kondusif agar pekerja merasa bekerja di Samsung adalah pekerjaan seumur hidupnya. Dengan demikian akan tercipta kesetiaan dan kepedulian karyawan terhadap perusahaan. Mereka juga aktif mencari penyelesaian permasalahan perusahaan. Dengan bekerja seumur hidup, kualitas hidup pekerja juga diupayakan meningkat Mereka mendapat jaminan hari tua sehingga bisa menikmati masa tua bersama keluarga.
Pola pendidikan SDM yang diberikan oleh Samsung sudah sangat baik, dimana Samsung membuat penelitian pengembangan kemampuan orang jenius. Kriteria orang jenius menurut Samsung sendiri yaitu :
- Mampu menciptakan produk yang belum ada di perusahaan dan melalui produk tersebut mampu permintaan dan dapat memimpin pasar dalam jangka waktu menengah
- Memiliki kemampuan inovasi, yaitu mendorong terciptanya ide-ide kreatif
- Bersifat professional serta mampu berorganisasi
- Memiliki rasa kemanusiaan

Namun pada kenyataannya, seorang karyawan telah melanggar budaya organisasi, dimana seharusnya ia bersifat profesional yaitu berperilaku integritas. Simon (dalam Simons, Friedman, Liu, & McLean Parks, 2007) mendefinisikan perilaku integritas sebagai "pola yang dipersepsikan sebagai keadaan sejjar antara perkataan dan tindakan seseorang, termasuk kecocokan antara  persetujuan dan penetapan nilai-nilai sampai pada titik dimana janji ditepati. Simons dan McLean Parks (dalam Simons, Friedman, Liu, & McLean Parks, 2007)  menemukan bahwa perilaku integritas berhubungan dengan kepercayaan manajer dan komitmen organisasi, yang berhubungan juga dengan  ingatan karyawan, customer service, dan profit perusahaan. Karena pentingnya perilaku integritas dalam diri karyawan, maka ketika hal tersebut tidak tercapai, ada baiknya diberlakukan sistem reward and punishment untuk karyawan tersebut, seperti pemberhentian kerja dan penahanan, diiringi dengan tindakan cepat dari pihak penyelidik agar kiranya rahasia perusahaan tetap dapat dijaga.


Referensi :
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2011/04/110413_samsungleak.shtml
http://rihat-online.blogspot.co.id/2014/10/manajemen-sdm-ala-samsung.html
Simons, T., Friedman, R., Liu, L. A., & McLean Parks, J. (2007). Racial differences in sensitivity to behavioral integrity: attitudinal consequences, in-group effects, and" trickle down" among Black and non-Black employees. Journal of Applied Psychology92(3), 650.

Saturday, May 20, 2017

KUNJUNGAN KE DINAS PSIKOLOGI TNI ANGKATAN UDARA




Pada hari Selasa, 16 Mei 2017, Mahasiswa/i Fakultas Psikologi Universitas Pancasila angkatan 2015 melakukan kunjungan ke Dinas Psikologi TNI AU (Dispsiau).
Dalam kunjungan tersebut, pihak Dispsiau menjelaskan pembagian tugas kerja serta penerapan coaching dan counseling sebagai proses bisnis dalam melaksanakan pekerjaan dalam organisasi Dispsiau.

Kunjungan diawali dengan penjelasan sejarah berdirinya Dispsiau. Ilmu psikologi dalam ruang lingkup TNI dimulai dari berdirinya pusat psikoteknik tentara di TNI Angkatan Udara, kemudian pada 1 Agustus 1951 didirikan Dispsiau. Status yang dimiliki Dispsiau mengalami kenaikan dan penurunan dari tahun ke tahun, yaitu menjadi pusat psikologi pada 1966, menjadi jawatan psikologi pada tahun 1968, kemudian kembali menjadi Dispsiau pada tahun 1976. Ketika terjadi reorganisasi ABRI pada tahun 1985, Dispsiau mengalami penurunan status kembali menjadi pelaksana teknis dibawah Direktorat Kesehatan TNI AU (Ditksau) menjadi Lembaga Psikologi TNI AU (Lapsiau). Barulah pada tahun 2003, status Lapsiau ditingkatkan kembali mnjadi Dispsiau.

Mengenai pembagian tugas kerja, Dispsiau memiliki empat sub dinas :
1. Subdis Psikologi Penerbangan
Subdis Psikologi Penerbangan dibagi ke dalam dua seksi, yaitu seksi klasifikasi dan evaluasi Petugas Khusus Matera Udara (PKMU) dan seksi dukungan. Subdis ini memiliki tugas sebagai berikut :
- Mengadakan seleksi calon-calon penerbang khususnya yang berasal dari lulusan akademi AU
- Melakukan dukungan pendidikan yang terdiri  dari tiga bagian yaiitu konseling, splitting, dan training
- Penyelidikan kecelakaan pesawwat udara
- Uji Human Factor
- Flying Psychologist (Melakukan ceramah, konseling, dan pelatihan)

2. Subdis Psikologi Personil
Berbeda dengan Subdis Psikologi Penerbangan, Subdis ini memiliki tugas dan kegiatan sebagai berikut :
- Ceramah dan konseling untuk anggota TNI maupun keluarga dari personil TNI AU, Psychology First Aid, konsultasi minat bakat, dan konsultasi dalam mengatasi personil yang mengalami gangguan stress kerja dan gangguan psikologis lainnya
- Penelitian tes kecerdasan emosi terhadap anggota TNI
- Melakukan seleki calon prajurit atau perwira karir, dimana seleksi berkoordinasi dengan mabes TNI AU
- Klasifikasi penjurusan para personil
Pelaksanaan kerja oleh subdis ini melalui 5 tahap yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, tahap pelaporn, tahap pengamanan, dan tahap pengakhiran.

3. Subdis Psikologi Pendidikan
Subdis ini memiliki tugas sebagai berikut :
- Melaksanakan fungsi psikologi pendidikan berupa dukungan psikologis bagi calon siswa personil
- Melaksanakan pengembangan umum berupa sekolah staff dan komando TNI AU dan pendidikan khusus berupa pendidikan lanjutan bintara dan perwira
- Melaksanakan tes dan pelatihan serta pengajaran kepada personil, dimana hasilnya akan diberikan kepada instruktur untuk menjadi pedoman dalam memberikan pelajaran

4. Laboratorium Psikologi Penerbangan
Pada awalnya laboraorium dibangun tahun 2006 untuk kepentingan perkembangan IT dan teknologi dalam pemeriksaan psikologi. Seiring brkembangnya zaman, lab Dispsiau telah memiliki teknologi terbaru dari Jerman berupa Computer Assisted Test (CAT) atau tes berbasis komputer yang dapat diguakan untuk proses seleksi, klasifikasi terhadap para petugas khusus matra udara, dan juga seleksi calon siswa penerbangan sipil. bahkan lab ini telah digunakan untuk melakukan tes pada staff keamanan dalam istana negara

Setelah menyelesaikan penjelasan, pihak Dispsiau membuka sesi tanya jawab. Dalam sesi ini, Dispsiau menjelaskan secara singkat mengenai budaya kerja Dispsiau, proses pembinaan SDM Dispsiau, serta kekuatan, kelemahan, serta tantangan yang dihadapi Dispsiau.
Budaya kerja Dispsiau terdiri dari  :
- Sapta marga (sumpah prajurit)
- Perintah harian KASAU
- Disiplin dalam apel pagi, siang, dan sore untuk memeriksa anggota yang siap bertugas setiap harinya
- Hormat kepada senior dan junior

































Gambar : google.com


Mengenai pembinaan SDM dilakukan dengan melakukan seleksi dan rekrutmen, kemudian menempatkan personil di pangkalan udara atau tempat-tempat pendidikan penerbangan selama 1-2 tahun untuk belajar. personil akan ditarik ke dalam Dispsiau ketika dibutuhkan tenaganya. Kemudian personil akan diarahkan untuk melanjutkan pendidikan umum (S2 dan S3) dan pendidikan militer seperti sekolah komando, bintara, dan perwira.

Mengenai kelebihan, pihak Dispsiau menyatakan bahwa kelebihan yang mereka miliki adalah SDM yang kompeten dan kemajuan alat tes seperti CAT.
Kelemahan yang dimiliki yaitu anggaran yang masih terbatas, namun pihak DIspsiau menyatakan bahwa selama ini anggaran yang ada dapat dikelola dengan baik.
Terakhir mengenai tantangan, pihak Dispsiau menyatakan bahwa tantagan yang dihaadapi yaitu adanya kompetitor seperti Dispsi Angkatan Darat, Dispsi Angkatan Laut, dan Dispsi di berbagai Airlines yang berusaha menjadi yang terbaik. Namun dibandingkan berkompetisi sebagai musuh, semuanya lebih memilih untuk bekerjasama sebagai mitra agar hubungan yang dimiliki menjadi opportunity.

Kesan yang saya miliki terhadap kegiatan kunjungan ini adalah sangat menarik dan positif karena membuka pikiran akan bidang kerja yang beragam bagi para mahasiswa/i Fakultas Psikologi Universitas Pancasila. Saya harap dalam kelas Psikologi Bisnis selanjutnya, akan diadakan kunjungan yang lebih seru lagi.

Friday, April 14, 2017

SUPERVISORY MANAGEMENT

Kasus Managerial
Samsung mengalami krisis pada tahun 2016 lalu, ketika banyak pelanggan yang melaporkan produk Samsung Galaxy Note 7 yang mereka miliki meledak. Kejadian meledaknya Galaxy Note 7 menggencarkan dunia sehingga harga saham Samsung menurun drastis dan perusahaan mulai kehilangan kepercayaan masyarakat. Akhirnya, Samsung melakukan penyelidikan lebih lanjut untuk memperoleh penyebab meledaknya produk yang belum lama diluncurkan tersebut. Pihak Samsung menyebutkan bahwa terdapat masalah dalam proses manufaktur walaupun belum ditemukan lebih lanjut apakah penyebab ledakan benar-benar berasal dari baterai seperti yang diklaim oleh pengguna atau ada alasan lainnya.
Tidak lama dari munculnya pemberitaan, Samsung memutuskan untuk menghentikan produksi Samsung Galaxy Note 7 dan memproduksi ulang seri tersebut. Hal ini ikut mempengaruhi stabilitas perusahaan karena Samsung harus mengeluarkan modal produksi yang tidak sedikit dan menahan peluncuran seri Galaxy 8.
Terkait kasus di atas, dalam struktural perusahaan, level managerial yang paling bawah yaitu pekerja yang telah melakukan kesalahan prosedur kerja. Hal ini dapat dipicu oleh pekerja yang kurang teliti, kurangnya kontrol dari supervisor bagian manufakur, atau lemahnya komunikasi antar divisi manufaktur dengan divisi lainnya sehingga pekerjaan yang dilakukan untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan rencana, visi, dan misi peluncuran produk. Untuk itu, ada baiknya setiap kalangan dalam struktural perusahaan ikut mencari solusi dan memperketat proses produksi agar kejadian tidak terulang kembali pada proses produksi seri-seri Samsung selanjutnya. Pada kasus di atas, perusahaan menanggulanginya dengan mengeluarkan uang di luar budget untuk memproduksi ulang seri Galaxy 7 dan meningkatkan perhatian dan inovasi teknologi yang lebih aman untuk seri Galaxy 8. Dalam prosesnya, tentu peran supervisor menjadi lebih penting untuk menjamin pekerjaan setiap anggotanya benar dan tidak merugikan perusahaan.

Peran Supervisor dalam Organisasi/Perusahaan
Supervisor memegang peran yang penting dalam merancang struktur lingkungan kerja dan menyediakan informasi maupun feedback untuk para karyawan. Menurut Graen dan Scandura (dalam Wiley dan Sons, 2001), dalam sruktur pekerjaan, supervisor telah dikenal memiliki peranan yang penting dalam mengembangkan peran dan ekspektasi pada karyawan. Fungsi ini menjadi penting dalam kegiatan pengenalan kerjasama tim karena supervisor dapat memainkan peran kunci dalam membentuk kerjasama tim dan menetapkan peraturan dasar untuk mengikat anggota tim dalam sebuah proses tim (McIntyre dan Salas, dalam Wiley dan Sons, 2001).

Prinsip Supervisor
Supervisor merupakan pemimpin dalam sebuah tim, dimana secara general, prinsip dari pemimpin dalam tim yaitu memastikan bahwa "fungsi" menjadi hal kritis dalam mengidentifikasi dan mencapai tujuan tim.
Secara lebih rinci, prinsip tersebut diurutkan menjadi 4 tahapan sebagai berikut :
1. Menentukan bahwa keberadaan tim penting atau tidak dalam menyelesaikan tugas
2. Menentukan tipe tim yang akan dibentuk
Terdapat 4 macam tim yang berbeda sesuai dengan tipe pekerjaannya yaitu :
- Surgical teams, dimana pemimpin memegang tanggun jawab dan karyawan lainnya membantu menyelesaikan tugas dalam interaksi antar anggota di setip waktu.
- Coacting groups, dimana setiap anggota bertanggungjawab untuk hasil kerja
- Face-to-face teams, dimana anggota tim bertemu dan bekerja bersama ketika ingin menyelesaikan tugas
- Distributed teams, dimana anggota tim tidak harus bertatap muka atau berteu secara langsung di setiap saat pengerjaan tugas
3. Membuat struktural dan kondisi yang memfasilitasi kerjasama tim
Terdapat dua kondisi dalam mendorong efektivitas tim (Hackman; Wageman, Nunes, Burruss dan Hckman, dalam Locke, 2009), yaitu the essentials (prasyarat terbentuknya tim yang kompeten yaitu pembentukan tim yang sesaungguhnya, membuat komposisi orang-orang yang tepat untuk melaksanakan pekerjaan, dan memiliki tujuan yang jelas) dan the enablers (seseorang yang membantu tim dalam mengambil keuntungan dari kelebihan tiap anggota dan sumber luar lainnya).
4. Meltih tim dan membantu anggota tim untuk mengambil keuntugan dalam situasi performa terbaik mereka

Memimpin melalui Visi dan Nilai
Dalam mengataasi bebagai masalah dalam tim, supervisor dapat memotivasi kryawan melalui nilai-nilai yang mereka miliki untuk organisasi. Visi merupakan pernyataan jangka panjang seorang pemimpin untuk orgnisasinya (Burns; House, dalam Locke, 2009).Visi yang dikoomunikasikan disebut vision statement.
Pernyataan visi harus memiliki karakteristik :
1. Brevity (singkat)
2. Clarity (jelas)
3. Abstractness and stability (keabstrakan dan stabilitas)
4. Challenge (tantangan)
5. Future orientation (orientasi masa depan)
6. Desirability or ability to inspire (keiginan atau kemampuan menginspirasi)

Visi yang disampaikan harus memiliki dampak pada motivasi anggota seperti :
1. Goal alignnment, dimana tujuan individu dan tim menjadi sejalan atau konsisten
2. Follower self-confident, dimana anggota mengklarifikasi tujuan dari organisasi dan menjadi terinspirasi untuk mencapai visi, sehingga kepercayaan dirinya meningkat
3. Shared meanings, dimana setiap anggota tim memiliki pemahaman yang sama sehingga ketika tim harus membuat keputusan dalam kondisi yang sulit, mereka bisa melaluinya
4. Perceived job characteristics, dimana anggota dapat membingkai visi ke dalam pekerjaan mereka





Referensi :
Locke, E. A. (2009). Handbook of Principles of Organizational Behavior. United Kingdom: John Wiley and Sons, Ltd
Griffin, M. A., Patterson, M. G., & West, M. A. (2001). Job satisfaction and teamwork: The role of supervisor support. Journal of organizational behavior, 22(5), 537-550.
http://travel.tribunnews.com/2017/03/31/samsung-tak-akan-ulangi-kesalahan-masa-lalu-pada-s8-seperti-note-7-benarkah
http://tekno.liputan6.com/read/2626075/bos-samsung-akhirnya-buka-suara-soal-galaxy-note-7

Thursday, March 23, 2017

Training Need Analysis (TNA)



TNA dapat menjadi fase yang paling penting dari desain pelatihan karena kesuksesannya tergantung pada kolaborasi intensif antara pemangku kepentingan utama. Tujuan dari TNA adalah memperjelas tujuan pelatihan, menerangkan konteks organisasi, menentukan kinerja yang efektif dan penggeraknya, dan mulai menumbuhkan iklim belajar (Locke, 2009).


Kegiatan penting yang dilakukan selama fase analisis kebutuhan meliputi:
a. Melakukan due diligence training
b. Mendefinisikan fungsi kinerja dan proses
c. Mendefinisikan kondisi afektif dan kognitif
d. Mendefinisikan model atribut, dan
e. Menggambarkan tujuan pembelajaran

Ketika dijalankan dengan hati-hati, kegiatan ini dapat menghasilkan solusi pembelajaran yang bermakna.

Condict due diligence
Due diligence adalah proses untuk memperjelas dan mengukur benefit yang diharapkan dari pelatihan bagi individu, tim, dan unit tingkat yang lebih tinggi (divisi, organisasi, masyarakat). Tujuan dari proses ini adalah untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk merundingkan secara objektif mengenai kapankah solusi tertentu harus dilembagakan. Percakapan harus mencakup kinerja, produktivitas, dan terkait faktor seperti kepuasan karyawan, kohesi tim, modal sosial, dan organisasi reputasi.

Mendefinisikan persyaratan kinerja
Hal ini melibatkan menjelaskan, menggabungkan, dan membuat konteks mengenai tugas dan proses kerja sama tim yang sangat penting untuk kinerja secara keseluruhan. Pemikiran/analisa para ahli dapat membantu pengelihatan dan pengambilan keputusan mengenai bagaimana isi dari pelatihan harus dikembangkan, disampaikan, dan dievaluasi. 


Mendefinisikan keadaan kognitif dan afektif
Karyawan yang melakukan proses kinerja (misal: penilaian situasi), secara dinamis memanfaatkan keadaan kognitif (model misalnya mental, situasi kesadaran) dan afektif (mislnya manfaat inisiasi, motivasi). Desainer pelatihan harus menciptakan solusi pelatihan yang menjelaskan bingkai keadaan-keadaankognitif dan afektif  serta menentukan mengapa dan bagaimana kinerja yang efektif.
Misalnya, meta analisis baru-baru ini menunjukkan bahwa cross-training team sangat cocok untuk menyampaikan model mental kerj sama tim dengan memberikan pengetahuan tentang rekan satu tim mereka, tugas, peran, dan tanggung jawab (Stagl, Klein, Rosopa, DiazGranados, Salas, dan Burke, dalam Locke, 2009)


Mendefinisikan atribut KSA
Selain membingkai proses inti dan kondisi kognitif dan afektif, praktisi pelatihan juga harus menentukan model atribut, yaitu penentu dari kinerja seperti knowledge, skill, dan attitude (KSA). Desainer pelatihan harus menjelaskan pada KSA yang harus ditargetkan untuk pembangunan oleh solusi pelatihan. Sebagai contoh, deklaratif (yaitu apa), prosedural (yaitu bagaimana), dan strategis (yaitu mengapa) pengetahuan yang diperlukan untuk melaksanakan proses kinerja yang efektif. Pengetahuan strategis sangat penting karena memungkinkan peserta untuk memahami mengapa dan kapan untuk menerapkan pengetahuan deklaratif (Kozlowski, Gully, Brown, Salas, Smith, dan Nason, dalam Locke, 2009).


Menggambarkan tujuan pembelajaran
Langkah terakhir dalam TNA yaitu menggambarkan tujuan pembelajaran. Informasi yang dikumpulkan dari langkah-langkah sebelumnya dari proses analisis kebutuhan harus diterjemahkan menjadi tujuan pelatihan, tujuan pembelajaran, dan tujuan yang memungkinkan.
Tujuan belajar yang cocok adalah jelas, ringkas, dan terukur. Sejauh tiga kriteria ini terpenuhi, konten pembelajaran akan lebih memiliki target dan akhirnya lebih berguna.


Mengembangkan Konten Pelatihan





Tahap kedua dalam merancang solusi pelatihan melibatkan serangkaian kegiatan yang dilakukan

dalam mendukung pengembangan konten pelatihan, termasuk:
(a) Merancang arsitektur pembelajaran
(b) Menciptakan pengalaman pembelajaran
(c) Mengembangkan alat penilaian

Arsitektur pembelajaran
Sebuah arsitektur pembelajaran  terdiri dari beberapa subsistem terintegrasi yang secara kolektif menyediakan kemampuan untuk merencanakan, memilih, menulis, mengurutkan, mendorong, mengevaluasi, menempatkan, dan pembelajaran mdan konten, teknik, penilaian alogaritma, profil KSA dan catatan kinerja.
Sebuah sistem manajemen yang cerdas dapt deprogram untuk memberikan pembelajaran desainer, instruktur, dan peserta pelatihan dengan akses, alat dan bimbingan yang diperlukan untuk membuat dan mengubah konten untuk mencerminkan tantangan operasional (Zachary, Bilazarian, Burns, dan Canon-Bowers, dalam Locke, 2009).

Menciptakan pengalaman pembelajaran (instruksional)
Langkah yang paling penting dari pengembangan konten pelatihan melibatkan panduan dan percampuran pengalaman instruksional. Proses ini meliputi menguraikan manajemen rencana pembelajaran, panduan instruktur, dan bila perlu script rinci.
Panduan pengalaman pembelajaran yang efektif memerlukan pertimbangan sistematis melalui informasi yang disampaikan dalam pengaturan pelatihan. Yang paling umum adalah melalui penyajian informasi, demonstrasi, dan praktek. Misalnya, kuliah, latihan, studi kasus, dan permainan dapat digunakan untuk menyajikan informasi kepada peserta pelatihan.
Konten bahkan kontrol lingkungan belajar harus diurutkan sampai batas tertentu karena perkembangan struktur pengetahuan dan proses kinerja kompleks bergantung pada pengetahuan dan keterampilan yang lebih mendasar (Anderson, dalam Locke, 2009). Ini berarti sangat penting untuk memberikan kemampuan yang mendasari tugas komponen sebelum mengembangkan KSA yang mendasari menghubungkan tugas (Goldstein dan Ford, dalam Locke 2009). Misalnya, menyajikan aturan umum dan prinsip-prinsip yang harus mendahului mereka menyoroti hubungan struktural, fungsional, dan fisik antara sistem.


Mengembangkan alat penilaian
Desainer pelatihan yang sangat didorong untuk mencari konsultasi dari ahli materi pelajaran saat merancang penilaian alat. Bimbingan yang paling mudah adalah dengan mengembangkan langkah-langkah standar dari kesatuan konstruksi; menilai beberapa hasil belajar dan proses kinerja; dan triangulasi pengukuran hasil melalui beberapa metode penilaian (Nunnally dan Bernstein, dalam Locke, 2009).



Melaksanakan Pelatihan



Implementasi adalah tahap kunci dalam proses pelatihan, sebagian karena terikat erat dengan sistem organisasi di mana pelatihan dilakukan. Lebih spesifik, ada tiga kegiatan utama yang terkait dengan pelaksanaan pelatihan (Cally, dalam Locke, 2009), termasuk:
(a) Menetapkan panggung untuk belajar
(b) Memberikan solusi blended learning
(c) Transfer pendukung dan pemeliharaan

Mengatur panggung untuk belajar
Setting panggung untuk pembelajaran dimulai dengan memastikan pelatih siap untuk memfasilitasi pemberian instruksi, mengenali dan menilai pembelajaran, dan memperkuat kinerja yang efektif. Ada beberapa pendekatan untuk mempersiapkan pelatih untuk melakukan tugas seperti menilai kesalahan pelatihan, membingkai referensi kerangka pelatihan, dan simulasi mental dari aktivitas instruktur. Misalnya, referensi kerangka pelatihan meningkatkan kesadaran dan keterampilan pelatih untuk mengidentifikasi dan menilai kompetensi kunci dan dimensi kinerja dalam pelatihan.
Langkah kedua dalam setting panggung untuk belajar melibatkan mempersiapkan peserta pelatihan untuk perolehan KSA. Ini termasuk mengukur dan meningkatkan motivasi belajar trainee, self-efficacy, dan self-regulation (Colquitt, Lepine, dan Noe, dalam Locke, 2009). Setelah pelatih dan peserta pelatihan yang cukup siap untuk terlibat dalam pembelajaran, tujuan dari pelatihan harus dinyatakan dan dijelaskan. 
Langkah berikutnya menyatakan standar pembelajaran dan kinerja sehingga peserta memiliki tolok ukur yang tepat terhadap yang untuk mengukur pengembangan mereka. Selain menetapkan standar, pelatih harus mendiskusikan bagaimana peserta pelatihan harus mengejar tujuan. Peserta didik harus didorong untuk mengeksplorasi, mencoba, dan aktif membangun makna dari acara pelatihan.


Memberikan solusi blended learning
Tahap kedua dalam melaksanakan pelatihan melibatkan memberikan blended learning. Ada tiga mekanisme untuk memberikan konten termasuk penyajian informasi, modeling, dan praktek. Informasi dapat disajikan melalui penggunaan kuliah, tugas membaca, studi kasus, dan diskusi terbuka. Konten spesifik apa yang dibahas ditentukan oleh KSA tertentu yang ditargetkan untuk pembangunan tetapi harus juga termasuk deskripsi dari kinerja yang efektif dan tidak efektif, kesalahan kerja umum, dan taktik untuk menghadapi tantangan bisnis.
Peserta pelatihan harus didorong untuk aktif membangun, mengintegrasikan, dan mengasosiasikan berbagai fakta, bukan diperlakukan sebagai penerima pasif dari konten pembelajaran (Schwartz dan Bransford, dalam Locke, 2009).
Sebelum berlatih, peserta harus diminta untuk terlibat dalam latihan simbolik maupun simulasi mental dari proses yang akan dilakukan selama pelatihan. Selama latihan, peserta pelatihan harus diberikan kesempatan yang luas untuk berulang kali terlibat secara kognitif dan tindakan.


Transfer dukungan dan pemeliharaan
Meminta peserta untuk menghasilkan penjelasan atas tindakan mereka selama pelatihan sangat penting untuk proses. Setelah sesi tanya jawab selesai, pelatih harus menawarkan bimbingan akhir untuk peserta didik. Trainee, dalam hubungannya dengan manajer dan pemimpin mereka, harus diminta untuk menetapkan tujuan proksimal dan distal untuk menerapkan kemampuan baru diperoleh di tempat kerja (Taylor, Russ - Eft, dan Chan, dalam Locke, 2009). Hal ini juga penting untuk menyarankan peserta untuk refleksi pengalaman pelatihan mereka dan untuk terus menyegarkan belajar mereka untuk menghindari pembusukan keterampilan. 



Evaluasi Pelatihan

Tahap akhir dalam merancang pelatihan yang sistematis melibatkan mengevaluasi apakah pelatihan itu efektif, dan yang lebih penting, mengapa hal itu efektif (atau tidak efektif) sehingga perbaikan yang diperlukan dapat dibuat.
Sayangnya, banyak organisasi tidak mengevaluasi pelatihan mengenai efektivitas karena evaluasi dapat menjadi mahal dan membutuhkan sumber daya intensif. Hal ini sering membutuhkan keahlian khusus dan tim yang dapat mengumpulkan dan menafsirkan data kinerja.
Sangat penting bahwa organisasi menilai efektivitas pelatihan dan menggunakan informasi yang dikumpulkan sebagai sarana untuk meningkatkan desain pelatihan.



Daftar Pustaka
Locke, E. A. (2009). Handbook of Principles of Organizational Behavior. United Kingdom: John Wiley and Sons, Ltd 

Friday, March 17, 2017

TRAINING AND DEVELOPMENT


Yuwono dkk. (2005) mengatakan bahwa pelatihan, pendidikan dan pengembangan merupakan hal yang tumpang tindih (overlap). Ketiganya bertujuan untuk mengubah perilaku yang lebih sesuai dengan kondisi dan situasi dimana seseorang bekerja, namun batas antara ketiganya sering kabur dan sulit dibedakan.

A. Pengertian Pelatihan, Pendidikan dan Pengembangan

Pelatihan
Menurut Noe (dalam Yuwono dkk., 2005), pelatihan merupakan suatu kegiatan yang direncanakan oleh perusahaan/institusi untuk memfasilitasi proses belajar untuk mencapai kompetensi dalam pekerjaan karyawan. Kompetensi yang dimaksud meliputi : pengetahuan, keterampilan, dan perilaku.

Pendidikan
Pendidikan merupakan aktivitas yang bertujuan untuk mengembangkan  pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai moral dan pemahaman yang dibutuhkan dalam seluruh aspek kehidupan.
Menurut Amstrong (dalam Yuwono dkk., 2005), pendidikan bersifat "generalis" yang meliputi pelajaran tentang hukum, budaya, linguistik, dan aspek-aspek lain yang dibutuhkan sebagai dasar untuk belajar secara berkesinambungan, pengembangan individu, kreativitas, dan komunikasi.

Pengembangan
Menurut Noe (dalam Yuwono dkk., 2005) pengembangan mengacu pada pendidikan formal, pengalamann kerja, hubungan interpersonal serta penilaian (assessment) terhadap kepribadian dan kemampuan yang dapat membantu karyawan mempersiapkan diri untuk masa yang akan datang.


Perbedaan Pelatihan dan Pendidikan 

Beebe, Mottet, & Roach (dalam Yuswono dkk., 2005)

Perbedaan Pelatihan dan Pengembangan

Noe (dalam Yuswono dkk., 2005)

B. Pelatihan

Perubahan pelatihan dari waktu ke waktu menurut Yuwono dkk. (2005) mencangkup :
1. Fokus pada keterampilan dan pengetahuan
2. Mengaitkan pelatihan dan kebutuhan bisnis
3. Pengunaan pelatihan untuk menciptakan berbagai pengetahuan

Filosofi pelatihan menurut Amstrong (dalam Yuwono dkk., 2005) :
1. Pendekatan strategis dalam pelatihan (strategic approach of training)
2. Terintegrasi (integrated), yaitu pelatihan harus direncanakan dan berkaitan dengan seluruh bagian dalam organisasi
3. Relevan (relevant), yaitu disesuaikan dengan identifikasi masalah dan kebutuhan organisasi beserta indivisu pendukungnya
4. Berdasarkan pada masalah (problem based)
5. Berorientasi pada tindakan (action oriented)
6.Terkait dengan kinerja (performance-related)
7. Berkesinambungan (continual)

The Institute of Personal Management (dalam Yuwono dkk., 2005) menyatakan kondisi-kondisi untuk meningkatkan manfaat baik bagi organisasi maupun  karyawannya :
1. Organisasi harus memiliki beberapa bentuk rancangan bisnis yang strategis
2. Para manajer harus siap mendefinisikan kebutuhan organisasi
3. Pembelajaran dan pekerjaan harus terintegrasi
4. Dorongan dan pengembangan berkesinambungan harus datang dari pimpinan atau anggota lain kelompok manajemen
5. Investasi dalam proses pengembangan yang berkesinambungan harus dilakukan oleh pihak manajemen puncak

Keuntungan pelatihan :
1. Meminimalkan biaya untuk prposes belajar
2. Meningkatkan kinerja individual, kelompok, dan perusahaan dalam hal keluaran, kualitas, kecepatan, dn produktivitas
3. Meningkatkan fleksibilitas operasional dengan meluaskan rentang keterampilan yang dimiliki karyawan (multitasking)
4. Menghasilkan staf yang berkualitas tinggi dengan cara meningkatkan kompetensi dan keterampilan mereka sehingga menghasilkan kepuasan kerja yang lebih tinggi karena mendapatka imbalan yang baik.
5. Meningkatkan komitmen staf dengan mendorong mereka untuk mengidentifikasi diri terhadap misi dan tujuan organisasi
6. Membantu mengelola perubahan dengan meningkatkan pengertian mereka pengetahuan seta keterampilan yang dibutuhkan untuk menyesuaikan diri dengan situasi baru
7. Membantu untuk mengembangkan budaya yang positif dalam organisasi misalnya budaya yang beorientasi pada peningkatan kinerja
8. Memberikan pelayanan  yang lebih baik kepada pelanggan


C. Desain Sistem Pelatihan yang Efektif

Langkah-langkah untuk mendesain pelatihan yang efektif berdasarkan pendapat berbagai ahli dan diperinci oleh Noe dan Beebe, Mottet, & Roach (dalam Yuwono dkk., 2005) :

1. Menganalisa kebutuhan pelatihan, meliputi :
a. Analisa terhadap organisasi, yaitu mencangkup arah strategi organisasi, dukungan manajer dan rekan kerja, serta sumberdaya untuk pelatihan
b. Analisa terhadap karyawan, mencangkup alasan baik/buruknya kinerja, siapa saja yang membutuhkan pelatihan, dan bagaimana kesiapan karyawan untuk mengikuti pelatihan
c. Analisa terhadap tugas, mencangkup 4 langkah :
- Memilih pekerjaan yang akan dianalisa
- Membuat daftar pendahuluan tentang tugas yang akan dilakukan dalam suatu pekerjaan (melalui wawancara dan observasi majnajer dan karyawan, atau berdiskusi dengan yang telah melakukan tugas)
- Melakukan validasi/konfirmasi mengenai tugas yang sudah dibuat (dengan survei menggunakan kuesioner)
- Mengidentifikasi pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan pendukung yang dibutuhkan untuk melakukan setiap tugas

2. Menentukan tujuan penelitian (training objective)
Tujuan penelitian memilikki 4 kriteria :
- Dapat diamati (observable)
- Dapat diukur (measureable)
- Dapat dicapai (attainable)
- Spesifik (specific)

3. Memastikan kesipaan pekerja mengikuti pelatihan
Kesiapan yang dimaksud mencangkup :
1) Karakteristik pribadi (kemampuan, sikap, kepercayaan diri, dan motivasi) yang dibutuhka dalam mempelajari mataeri pelatihan dan menerapkannya dalam pekerjaan
2) Lingkungan kerja yang dapat memberi fasilitas untuk proses belajar

4. Menciptakan sebuah lingkungan belajar
1) Teori penguat (reinforcement theory) yang menekankan motivasi melakukan atau menghindari sesuatu karena pengalaman atas hasil dari perilaku di masa lalu, hasil yang menyenangkan disebut penguat positif (positive reinforcement) dan hasil yang tidak menyenangkan disebut penguat negatif (negative reinforcement).
Contoh : seorang karyawan yang berhasil melakukan tugasnya dengan baik mendapat pujian dan bonus, maka karyawan tersebut akan menguatkan perilakunya.

2) Teori belajar sosial (social learning theory) menekankan proses belajar melalui observasi terhadap perilaku orang lain (model) yang dianggap berpengetahuan atau terbukti mampu (credible).
Teori ini dapat digunakan untuk meningkatkan self-efficacy karyawan dengan :
a. Persuasi verbal, yatu melalui kata-kata untuk mendorong/meyakinkan mereka akan mampu belajar
b. Verifikasi logis, yaitu memberikan persepsi keterkaitan antara  tugas baru dan tugas yang telah dikuasai
c.  Memberi model (modelling), yaitu memberikan contoh rekan kerja yang telah menguasai keterampilan baru untuk didemonstrasikan kepada peserta pelatihan
Empat proses penting dalam teori belajar sosial : atensi(perhatian melalui observasi), retensi (mengingat kembali), reproduksi (mencoba perilaku), dan motivasi.

3) Teori kognitif (cognitive theories), yang menggambarkan cara individu mengenali dan mendefinisikan  masalah serta bereksperimen utnuk menemukan solusinya.  Teori kognitif memiliki dasar pemikiran : Discovery atau do-it yourself.
Teori belajar melalui pengalaman menurut Kolb, Rubin & Mc Intyre (dalam Yuswono dkk., 2005) terdiri dari 4 tahapan :
a. Pengalaman nyata
b. Observasi dan refleksi terhadap pengalaman
c. Pembentukan konsep abstrak dan geenralisasi yang menjelaskan tentang pengalaman dan menentukan bagaimana hal itu dapat diterapkan
d. Menguji implikasi konsep pada situasi baru

4) General laws of learning :
a. Law effect, yaitu kondsi terbaik dimana orang belajar saat berada dalam eadaaan yang menyenangkan dan mendapat reard
b. Law of frequency, yaitu semakin sering peserta brlatih maka semakin bsar kemungkinan untuk brhasil
c. Law of association, yaitu materi apapun yang akan diajarkan dalam pelatihan sebaiknya memiliki hubungan dengan materi yang diketahui atau dikuasai

5. Mengorganisasikan materi pelatihan
Cara mengajarkan keterampilan :
a.  Tell, yaitu memberikan deskripsi verbal atau gambaran dengan kata-kata tentang bagaimana keterampialn harus dilakukan
b.  Show, yaitu memperlihatkan secara visual dengan video
c. Invite, yaitu meminta peserta untuk berlatih
d.  Encourage, yaitu mengidentifikasi keterampilan apakah sudah benar atau belum
e. Correct, yaitu mengidentifikasi bagaimana peserta meeningkatkan kinerjanya

6. Memilih metode penelitian, yaitu :
a. Presentasi (ceramah atau audio visual)
b. Hands-on, yaitu menuntut menikutsertakan keaktifan peserta dalam pelatihan. Metode ini dalam bentuk on-the-job training, simulasi, studi kasus, bussiness games, role model, dan  behavior modelling
c. Group building, yang terdiri dari : adventure learning, team training, dan action learning

7. Mengevaluasi program pelatihan
Evaluasi terdiri dari dua jenis, yaitu : 
1) Evaluasi formatif, yaitu memberikan informasi tentang bagaimana membuat program yang lebih baik.
2) Evaluasi sumatif, yaitu mengukur sejauh mana perubahan peserta sebagai hasil dari partisipasinya dalam program pelatihan. 




DAFTAR PUSTAKA

Yuwono, I., Suhariadi, F., Handoyo, S., Fajrianthi, Muhammad, B.S., Septarini, B.G. (2005). Psikologi Industri dan Organisasi. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga