Flower

Flower
pic: https://id.pinterest.com/pin/431923420490335661/

Thursday, March 23, 2017

Training Need Analysis (TNA)



TNA dapat menjadi fase yang paling penting dari desain pelatihan karena kesuksesannya tergantung pada kolaborasi intensif antara pemangku kepentingan utama. Tujuan dari TNA adalah memperjelas tujuan pelatihan, menerangkan konteks organisasi, menentukan kinerja yang efektif dan penggeraknya, dan mulai menumbuhkan iklim belajar (Locke, 2009).


Kegiatan penting yang dilakukan selama fase analisis kebutuhan meliputi:
a. Melakukan due diligence training
b. Mendefinisikan fungsi kinerja dan proses
c. Mendefinisikan kondisi afektif dan kognitif
d. Mendefinisikan model atribut, dan
e. Menggambarkan tujuan pembelajaran

Ketika dijalankan dengan hati-hati, kegiatan ini dapat menghasilkan solusi pembelajaran yang bermakna.

Condict due diligence
Due diligence adalah proses untuk memperjelas dan mengukur benefit yang diharapkan dari pelatihan bagi individu, tim, dan unit tingkat yang lebih tinggi (divisi, organisasi, masyarakat). Tujuan dari proses ini adalah untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk merundingkan secara objektif mengenai kapankah solusi tertentu harus dilembagakan. Percakapan harus mencakup kinerja, produktivitas, dan terkait faktor seperti kepuasan karyawan, kohesi tim, modal sosial, dan organisasi reputasi.

Mendefinisikan persyaratan kinerja
Hal ini melibatkan menjelaskan, menggabungkan, dan membuat konteks mengenai tugas dan proses kerja sama tim yang sangat penting untuk kinerja secara keseluruhan. Pemikiran/analisa para ahli dapat membantu pengelihatan dan pengambilan keputusan mengenai bagaimana isi dari pelatihan harus dikembangkan, disampaikan, dan dievaluasi. 


Mendefinisikan keadaan kognitif dan afektif
Karyawan yang melakukan proses kinerja (misal: penilaian situasi), secara dinamis memanfaatkan keadaan kognitif (model misalnya mental, situasi kesadaran) dan afektif (mislnya manfaat inisiasi, motivasi). Desainer pelatihan harus menciptakan solusi pelatihan yang menjelaskan bingkai keadaan-keadaankognitif dan afektif  serta menentukan mengapa dan bagaimana kinerja yang efektif.
Misalnya, meta analisis baru-baru ini menunjukkan bahwa cross-training team sangat cocok untuk menyampaikan model mental kerj sama tim dengan memberikan pengetahuan tentang rekan satu tim mereka, tugas, peran, dan tanggung jawab (Stagl, Klein, Rosopa, DiazGranados, Salas, dan Burke, dalam Locke, 2009)


Mendefinisikan atribut KSA
Selain membingkai proses inti dan kondisi kognitif dan afektif, praktisi pelatihan juga harus menentukan model atribut, yaitu penentu dari kinerja seperti knowledge, skill, dan attitude (KSA). Desainer pelatihan harus menjelaskan pada KSA yang harus ditargetkan untuk pembangunan oleh solusi pelatihan. Sebagai contoh, deklaratif (yaitu apa), prosedural (yaitu bagaimana), dan strategis (yaitu mengapa) pengetahuan yang diperlukan untuk melaksanakan proses kinerja yang efektif. Pengetahuan strategis sangat penting karena memungkinkan peserta untuk memahami mengapa dan kapan untuk menerapkan pengetahuan deklaratif (Kozlowski, Gully, Brown, Salas, Smith, dan Nason, dalam Locke, 2009).


Menggambarkan tujuan pembelajaran
Langkah terakhir dalam TNA yaitu menggambarkan tujuan pembelajaran. Informasi yang dikumpulkan dari langkah-langkah sebelumnya dari proses analisis kebutuhan harus diterjemahkan menjadi tujuan pelatihan, tujuan pembelajaran, dan tujuan yang memungkinkan.
Tujuan belajar yang cocok adalah jelas, ringkas, dan terukur. Sejauh tiga kriteria ini terpenuhi, konten pembelajaran akan lebih memiliki target dan akhirnya lebih berguna.


Mengembangkan Konten Pelatihan





Tahap kedua dalam merancang solusi pelatihan melibatkan serangkaian kegiatan yang dilakukan

dalam mendukung pengembangan konten pelatihan, termasuk:
(a) Merancang arsitektur pembelajaran
(b) Menciptakan pengalaman pembelajaran
(c) Mengembangkan alat penilaian

Arsitektur pembelajaran
Sebuah arsitektur pembelajaran  terdiri dari beberapa subsistem terintegrasi yang secara kolektif menyediakan kemampuan untuk merencanakan, memilih, menulis, mengurutkan, mendorong, mengevaluasi, menempatkan, dan pembelajaran mdan konten, teknik, penilaian alogaritma, profil KSA dan catatan kinerja.
Sebuah sistem manajemen yang cerdas dapt deprogram untuk memberikan pembelajaran desainer, instruktur, dan peserta pelatihan dengan akses, alat dan bimbingan yang diperlukan untuk membuat dan mengubah konten untuk mencerminkan tantangan operasional (Zachary, Bilazarian, Burns, dan Canon-Bowers, dalam Locke, 2009).

Menciptakan pengalaman pembelajaran (instruksional)
Langkah yang paling penting dari pengembangan konten pelatihan melibatkan panduan dan percampuran pengalaman instruksional. Proses ini meliputi menguraikan manajemen rencana pembelajaran, panduan instruktur, dan bila perlu script rinci.
Panduan pengalaman pembelajaran yang efektif memerlukan pertimbangan sistematis melalui informasi yang disampaikan dalam pengaturan pelatihan. Yang paling umum adalah melalui penyajian informasi, demonstrasi, dan praktek. Misalnya, kuliah, latihan, studi kasus, dan permainan dapat digunakan untuk menyajikan informasi kepada peserta pelatihan.
Konten bahkan kontrol lingkungan belajar harus diurutkan sampai batas tertentu karena perkembangan struktur pengetahuan dan proses kinerja kompleks bergantung pada pengetahuan dan keterampilan yang lebih mendasar (Anderson, dalam Locke, 2009). Ini berarti sangat penting untuk memberikan kemampuan yang mendasari tugas komponen sebelum mengembangkan KSA yang mendasari menghubungkan tugas (Goldstein dan Ford, dalam Locke 2009). Misalnya, menyajikan aturan umum dan prinsip-prinsip yang harus mendahului mereka menyoroti hubungan struktural, fungsional, dan fisik antara sistem.


Mengembangkan alat penilaian
Desainer pelatihan yang sangat didorong untuk mencari konsultasi dari ahli materi pelajaran saat merancang penilaian alat. Bimbingan yang paling mudah adalah dengan mengembangkan langkah-langkah standar dari kesatuan konstruksi; menilai beberapa hasil belajar dan proses kinerja; dan triangulasi pengukuran hasil melalui beberapa metode penilaian (Nunnally dan Bernstein, dalam Locke, 2009).



Melaksanakan Pelatihan



Implementasi adalah tahap kunci dalam proses pelatihan, sebagian karena terikat erat dengan sistem organisasi di mana pelatihan dilakukan. Lebih spesifik, ada tiga kegiatan utama yang terkait dengan pelaksanaan pelatihan (Cally, dalam Locke, 2009), termasuk:
(a) Menetapkan panggung untuk belajar
(b) Memberikan solusi blended learning
(c) Transfer pendukung dan pemeliharaan

Mengatur panggung untuk belajar
Setting panggung untuk pembelajaran dimulai dengan memastikan pelatih siap untuk memfasilitasi pemberian instruksi, mengenali dan menilai pembelajaran, dan memperkuat kinerja yang efektif. Ada beberapa pendekatan untuk mempersiapkan pelatih untuk melakukan tugas seperti menilai kesalahan pelatihan, membingkai referensi kerangka pelatihan, dan simulasi mental dari aktivitas instruktur. Misalnya, referensi kerangka pelatihan meningkatkan kesadaran dan keterampilan pelatih untuk mengidentifikasi dan menilai kompetensi kunci dan dimensi kinerja dalam pelatihan.
Langkah kedua dalam setting panggung untuk belajar melibatkan mempersiapkan peserta pelatihan untuk perolehan KSA. Ini termasuk mengukur dan meningkatkan motivasi belajar trainee, self-efficacy, dan self-regulation (Colquitt, Lepine, dan Noe, dalam Locke, 2009). Setelah pelatih dan peserta pelatihan yang cukup siap untuk terlibat dalam pembelajaran, tujuan dari pelatihan harus dinyatakan dan dijelaskan. 
Langkah berikutnya menyatakan standar pembelajaran dan kinerja sehingga peserta memiliki tolok ukur yang tepat terhadap yang untuk mengukur pengembangan mereka. Selain menetapkan standar, pelatih harus mendiskusikan bagaimana peserta pelatihan harus mengejar tujuan. Peserta didik harus didorong untuk mengeksplorasi, mencoba, dan aktif membangun makna dari acara pelatihan.


Memberikan solusi blended learning
Tahap kedua dalam melaksanakan pelatihan melibatkan memberikan blended learning. Ada tiga mekanisme untuk memberikan konten termasuk penyajian informasi, modeling, dan praktek. Informasi dapat disajikan melalui penggunaan kuliah, tugas membaca, studi kasus, dan diskusi terbuka. Konten spesifik apa yang dibahas ditentukan oleh KSA tertentu yang ditargetkan untuk pembangunan tetapi harus juga termasuk deskripsi dari kinerja yang efektif dan tidak efektif, kesalahan kerja umum, dan taktik untuk menghadapi tantangan bisnis.
Peserta pelatihan harus didorong untuk aktif membangun, mengintegrasikan, dan mengasosiasikan berbagai fakta, bukan diperlakukan sebagai penerima pasif dari konten pembelajaran (Schwartz dan Bransford, dalam Locke, 2009).
Sebelum berlatih, peserta harus diminta untuk terlibat dalam latihan simbolik maupun simulasi mental dari proses yang akan dilakukan selama pelatihan. Selama latihan, peserta pelatihan harus diberikan kesempatan yang luas untuk berulang kali terlibat secara kognitif dan tindakan.


Transfer dukungan dan pemeliharaan
Meminta peserta untuk menghasilkan penjelasan atas tindakan mereka selama pelatihan sangat penting untuk proses. Setelah sesi tanya jawab selesai, pelatih harus menawarkan bimbingan akhir untuk peserta didik. Trainee, dalam hubungannya dengan manajer dan pemimpin mereka, harus diminta untuk menetapkan tujuan proksimal dan distal untuk menerapkan kemampuan baru diperoleh di tempat kerja (Taylor, Russ - Eft, dan Chan, dalam Locke, 2009). Hal ini juga penting untuk menyarankan peserta untuk refleksi pengalaman pelatihan mereka dan untuk terus menyegarkan belajar mereka untuk menghindari pembusukan keterampilan. 



Evaluasi Pelatihan

Tahap akhir dalam merancang pelatihan yang sistematis melibatkan mengevaluasi apakah pelatihan itu efektif, dan yang lebih penting, mengapa hal itu efektif (atau tidak efektif) sehingga perbaikan yang diperlukan dapat dibuat.
Sayangnya, banyak organisasi tidak mengevaluasi pelatihan mengenai efektivitas karena evaluasi dapat menjadi mahal dan membutuhkan sumber daya intensif. Hal ini sering membutuhkan keahlian khusus dan tim yang dapat mengumpulkan dan menafsirkan data kinerja.
Sangat penting bahwa organisasi menilai efektivitas pelatihan dan menggunakan informasi yang dikumpulkan sebagai sarana untuk meningkatkan desain pelatihan.



Daftar Pustaka
Locke, E. A. (2009). Handbook of Principles of Organizational Behavior. United Kingdom: John Wiley and Sons, Ltd 

Friday, March 17, 2017

TRAINING AND DEVELOPMENT


Yuwono dkk. (2005) mengatakan bahwa pelatihan, pendidikan dan pengembangan merupakan hal yang tumpang tindih (overlap). Ketiganya bertujuan untuk mengubah perilaku yang lebih sesuai dengan kondisi dan situasi dimana seseorang bekerja, namun batas antara ketiganya sering kabur dan sulit dibedakan.

A. Pengertian Pelatihan, Pendidikan dan Pengembangan

Pelatihan
Menurut Noe (dalam Yuwono dkk., 2005), pelatihan merupakan suatu kegiatan yang direncanakan oleh perusahaan/institusi untuk memfasilitasi proses belajar untuk mencapai kompetensi dalam pekerjaan karyawan. Kompetensi yang dimaksud meliputi : pengetahuan, keterampilan, dan perilaku.

Pendidikan
Pendidikan merupakan aktivitas yang bertujuan untuk mengembangkan  pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai moral dan pemahaman yang dibutuhkan dalam seluruh aspek kehidupan.
Menurut Amstrong (dalam Yuwono dkk., 2005), pendidikan bersifat "generalis" yang meliputi pelajaran tentang hukum, budaya, linguistik, dan aspek-aspek lain yang dibutuhkan sebagai dasar untuk belajar secara berkesinambungan, pengembangan individu, kreativitas, dan komunikasi.

Pengembangan
Menurut Noe (dalam Yuwono dkk., 2005) pengembangan mengacu pada pendidikan formal, pengalamann kerja, hubungan interpersonal serta penilaian (assessment) terhadap kepribadian dan kemampuan yang dapat membantu karyawan mempersiapkan diri untuk masa yang akan datang.


Perbedaan Pelatihan dan Pendidikan 

Beebe, Mottet, & Roach (dalam Yuswono dkk., 2005)

Perbedaan Pelatihan dan Pengembangan

Noe (dalam Yuswono dkk., 2005)

B. Pelatihan

Perubahan pelatihan dari waktu ke waktu menurut Yuwono dkk. (2005) mencangkup :
1. Fokus pada keterampilan dan pengetahuan
2. Mengaitkan pelatihan dan kebutuhan bisnis
3. Pengunaan pelatihan untuk menciptakan berbagai pengetahuan

Filosofi pelatihan menurut Amstrong (dalam Yuwono dkk., 2005) :
1. Pendekatan strategis dalam pelatihan (strategic approach of training)
2. Terintegrasi (integrated), yaitu pelatihan harus direncanakan dan berkaitan dengan seluruh bagian dalam organisasi
3. Relevan (relevant), yaitu disesuaikan dengan identifikasi masalah dan kebutuhan organisasi beserta indivisu pendukungnya
4. Berdasarkan pada masalah (problem based)
5. Berorientasi pada tindakan (action oriented)
6.Terkait dengan kinerja (performance-related)
7. Berkesinambungan (continual)

The Institute of Personal Management (dalam Yuwono dkk., 2005) menyatakan kondisi-kondisi untuk meningkatkan manfaat baik bagi organisasi maupun  karyawannya :
1. Organisasi harus memiliki beberapa bentuk rancangan bisnis yang strategis
2. Para manajer harus siap mendefinisikan kebutuhan organisasi
3. Pembelajaran dan pekerjaan harus terintegrasi
4. Dorongan dan pengembangan berkesinambungan harus datang dari pimpinan atau anggota lain kelompok manajemen
5. Investasi dalam proses pengembangan yang berkesinambungan harus dilakukan oleh pihak manajemen puncak

Keuntungan pelatihan :
1. Meminimalkan biaya untuk prposes belajar
2. Meningkatkan kinerja individual, kelompok, dan perusahaan dalam hal keluaran, kualitas, kecepatan, dn produktivitas
3. Meningkatkan fleksibilitas operasional dengan meluaskan rentang keterampilan yang dimiliki karyawan (multitasking)
4. Menghasilkan staf yang berkualitas tinggi dengan cara meningkatkan kompetensi dan keterampilan mereka sehingga menghasilkan kepuasan kerja yang lebih tinggi karena mendapatka imbalan yang baik.
5. Meningkatkan komitmen staf dengan mendorong mereka untuk mengidentifikasi diri terhadap misi dan tujuan organisasi
6. Membantu mengelola perubahan dengan meningkatkan pengertian mereka pengetahuan seta keterampilan yang dibutuhkan untuk menyesuaikan diri dengan situasi baru
7. Membantu untuk mengembangkan budaya yang positif dalam organisasi misalnya budaya yang beorientasi pada peningkatan kinerja
8. Memberikan pelayanan  yang lebih baik kepada pelanggan


C. Desain Sistem Pelatihan yang Efektif

Langkah-langkah untuk mendesain pelatihan yang efektif berdasarkan pendapat berbagai ahli dan diperinci oleh Noe dan Beebe, Mottet, & Roach (dalam Yuwono dkk., 2005) :

1. Menganalisa kebutuhan pelatihan, meliputi :
a. Analisa terhadap organisasi, yaitu mencangkup arah strategi organisasi, dukungan manajer dan rekan kerja, serta sumberdaya untuk pelatihan
b. Analisa terhadap karyawan, mencangkup alasan baik/buruknya kinerja, siapa saja yang membutuhkan pelatihan, dan bagaimana kesiapan karyawan untuk mengikuti pelatihan
c. Analisa terhadap tugas, mencangkup 4 langkah :
- Memilih pekerjaan yang akan dianalisa
- Membuat daftar pendahuluan tentang tugas yang akan dilakukan dalam suatu pekerjaan (melalui wawancara dan observasi majnajer dan karyawan, atau berdiskusi dengan yang telah melakukan tugas)
- Melakukan validasi/konfirmasi mengenai tugas yang sudah dibuat (dengan survei menggunakan kuesioner)
- Mengidentifikasi pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan pendukung yang dibutuhkan untuk melakukan setiap tugas

2. Menentukan tujuan penelitian (training objective)
Tujuan penelitian memilikki 4 kriteria :
- Dapat diamati (observable)
- Dapat diukur (measureable)
- Dapat dicapai (attainable)
- Spesifik (specific)

3. Memastikan kesipaan pekerja mengikuti pelatihan
Kesiapan yang dimaksud mencangkup :
1) Karakteristik pribadi (kemampuan, sikap, kepercayaan diri, dan motivasi) yang dibutuhka dalam mempelajari mataeri pelatihan dan menerapkannya dalam pekerjaan
2) Lingkungan kerja yang dapat memberi fasilitas untuk proses belajar

4. Menciptakan sebuah lingkungan belajar
1) Teori penguat (reinforcement theory) yang menekankan motivasi melakukan atau menghindari sesuatu karena pengalaman atas hasil dari perilaku di masa lalu, hasil yang menyenangkan disebut penguat positif (positive reinforcement) dan hasil yang tidak menyenangkan disebut penguat negatif (negative reinforcement).
Contoh : seorang karyawan yang berhasil melakukan tugasnya dengan baik mendapat pujian dan bonus, maka karyawan tersebut akan menguatkan perilakunya.

2) Teori belajar sosial (social learning theory) menekankan proses belajar melalui observasi terhadap perilaku orang lain (model) yang dianggap berpengetahuan atau terbukti mampu (credible).
Teori ini dapat digunakan untuk meningkatkan self-efficacy karyawan dengan :
a. Persuasi verbal, yatu melalui kata-kata untuk mendorong/meyakinkan mereka akan mampu belajar
b. Verifikasi logis, yaitu memberikan persepsi keterkaitan antara  tugas baru dan tugas yang telah dikuasai
c.  Memberi model (modelling), yaitu memberikan contoh rekan kerja yang telah menguasai keterampilan baru untuk didemonstrasikan kepada peserta pelatihan
Empat proses penting dalam teori belajar sosial : atensi(perhatian melalui observasi), retensi (mengingat kembali), reproduksi (mencoba perilaku), dan motivasi.

3) Teori kognitif (cognitive theories), yang menggambarkan cara individu mengenali dan mendefinisikan  masalah serta bereksperimen utnuk menemukan solusinya.  Teori kognitif memiliki dasar pemikiran : Discovery atau do-it yourself.
Teori belajar melalui pengalaman menurut Kolb, Rubin & Mc Intyre (dalam Yuswono dkk., 2005) terdiri dari 4 tahapan :
a. Pengalaman nyata
b. Observasi dan refleksi terhadap pengalaman
c. Pembentukan konsep abstrak dan geenralisasi yang menjelaskan tentang pengalaman dan menentukan bagaimana hal itu dapat diterapkan
d. Menguji implikasi konsep pada situasi baru

4) General laws of learning :
a. Law effect, yaitu kondsi terbaik dimana orang belajar saat berada dalam eadaaan yang menyenangkan dan mendapat reard
b. Law of frequency, yaitu semakin sering peserta brlatih maka semakin bsar kemungkinan untuk brhasil
c. Law of association, yaitu materi apapun yang akan diajarkan dalam pelatihan sebaiknya memiliki hubungan dengan materi yang diketahui atau dikuasai

5. Mengorganisasikan materi pelatihan
Cara mengajarkan keterampilan :
a.  Tell, yaitu memberikan deskripsi verbal atau gambaran dengan kata-kata tentang bagaimana keterampialn harus dilakukan
b.  Show, yaitu memperlihatkan secara visual dengan video
c. Invite, yaitu meminta peserta untuk berlatih
d.  Encourage, yaitu mengidentifikasi keterampilan apakah sudah benar atau belum
e. Correct, yaitu mengidentifikasi bagaimana peserta meeningkatkan kinerjanya

6. Memilih metode penelitian, yaitu :
a. Presentasi (ceramah atau audio visual)
b. Hands-on, yaitu menuntut menikutsertakan keaktifan peserta dalam pelatihan. Metode ini dalam bentuk on-the-job training, simulasi, studi kasus, bussiness games, role model, dan  behavior modelling
c. Group building, yang terdiri dari : adventure learning, team training, dan action learning

7. Mengevaluasi program pelatihan
Evaluasi terdiri dari dua jenis, yaitu : 
1) Evaluasi formatif, yaitu memberikan informasi tentang bagaimana membuat program yang lebih baik.
2) Evaluasi sumatif, yaitu mengukur sejauh mana perubahan peserta sebagai hasil dari partisipasinya dalam program pelatihan. 




DAFTAR PUSTAKA

Yuwono, I., Suhariadi, F., Handoyo, S., Fajrianthi, Muhammad, B.S., Septarini, B.G. (2005). Psikologi Industri dan Organisasi. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga


Friday, March 10, 2017

DINAMIKA KELOMPOK


INTERANKSI ANTAR ANGGOTA KELOMPOK



Fiedler, 1967 (dalam Munandar, 2001) membagi kelompok kerja yang didasarkan pada intensitas interaksi menjadi 3 yaitu : 

1. Interacting groups (kelompok interaksi), yaitu kelompok yang anggotanya saling tergantung dan aksi/tindakan mereka perlu dikerjakan bersama untuk mencapai hasil yang yang baik. Contoh : Tim sepak bola.

2. Co-acting groups (kelompok koaksi), yaitu kelompok yang anggotanya melaksanakan pekerjaan bersama namun relatif tidak saling tergantung. Contoh : Kelompok salesman.

3. Counter-acting groups (kelompok konteraksi), yaitu kelompok yang anggotanya bekerjasama untuk berunding dan menyepakati sasaran dan tuntutan yang saling bertantangan. Contoh : Kelompok perjanjian kerja yang terdiri dari manajer dan para serikat kerja.


GEJALA DALAM PROSES KELOMPOK
Gejala dalam proses kelompok menurut Leavitt, 1988 (dalam Munandar, 2001) yaitu :


1. Tahap Pathfinding, yaitu penemuan dari tujuan kelompok.

2. Tahap Pemecahan Masalah, yaitu adanya pemaparan masalah, kemudian pengumpulan informasi untuk merumuskan pemecahan masalah, dan pada akhirnya dilaksanakan pencarian pemecahan masalah.

3. Tahap Implementasi, yaitu tahap melakukan serangkaian proses produksi seperti pembentukan, penyusunan, penjualan, dan pembuatan suatu hal yang menjadi tujuan kelompok.



Selain itu, menurut Leavitt, 1988 (dalam Munandar, 2001), terdapat gejala-gejala lain yang biasanya terjadi dalam proses kelompok : 

a. Konformisme, yaitu terdapatnya pola perilaku tertentu yang berlaku secara umum dalam kelompok.

b. Kelekatan (cohesiveness), yaitu kondisi tinggi-rendahnya kesepakatan para anggota terhadap sasaran kelompok serta bentuk penerimaan antar anggota kelompok. 

c. Sinergi, yaitu bentuk pengabilan keputusan kelompok sebagai keputusan terbaik yang diambil oleh stiap anggota kelompok.

d. Groupthink, yaitu kondisi tidak adanya penerimaan yang baik terhadap sanggahan dalam diskusi kelopok, sehingga keputusan diambil dengan cara paksa. Janis dan Mann, 1977 (dalam Munandar, 2001) menjabarkan gejala groupthink scara berurutan :


e. Group polarization, yaitu pergeseran pengambilan keputusan yang ekstrim, yang sangat tinggi atau rendah resikonya. Fincham dan Rhodes, 1988 (dalam Munandar, 2001) mengutarakan beberapa penyebab terjadinya polarisasi kelompok :




PERSAINGAN ANTARA KELOMPOK
Menurut Robin, 1998 (dalam Munandar, 2001), dampak dari persaingan dapat dijabarkan sebagai berikut :





MENGELOLA KONFLIK DALAM KELOMPOK


Cara mengelola konflik dalam kelompok menurut Thomas, 1992 (dalam McKenna, 2012) yaitu :

1. Competition (bersaing), yaitu berusaha melawan dengan  memanfaatkan otoritas, anacaman, dan kekuatan.

2. Collaboration (bekerjasama), yaitu pendekatan kondisi win-win yang menguntungkan bagi masing-masing pihak.

3. Avoidance (menghindar), yaitu salah satu pihak mengundurkan diri dari konflik untuk menghindari ketidaksetujuan yang terjadi antar pihak.

4. Accommodation (menyesuaikan), yaitu salah satu pihak menempatkan diri di bawah posisi lawan.

5. Compromise (berkompromi), yaitu masing-masing pihak mengalah atau melepas suatu hal, sehingga tidak ada yang menang dan kalah. 



MEMBANGUN TIM YANG EFEKTIF
Menurut Katzenbach dan Smith, 1993 (dalam McKenna, 2012), untuk membangun tim yang efektif sebaiknya mengandung konteks sebagai berikut :

1.  Menciptakan suasana penting dan membuat arahan/direksi.

2. Memilih anggota berdasarkan kemampuan (skill), .riwayat, potensi, dan bukan hanya dasar dari kepribadian dasarnya.

3. Memastikan pertemuan pertama berjalan lancar.

4. Menetapkan beberapa peraturan  untuk peilaku anggota.

5. Fokus kepada hal-hal urgent agar menjadi lebih objektif.

6. Mendedikasikan sebagian besar waktu untuk melakukan interakasi antar anggta.

7. Menyediakan informasi terkini seputar dan untuk anggota.


Daftar Pustaka
Robbins S. P., & Judge A. T. (2013) .Organizational Behavior Fifteenth Edition. Pearson: England.

McKenna, E. (2012). Business Psychology and Organizational Behaviour Fifth Edition. Psychology Press : New York.


Munandar, A. S. (2001). Psikologi Industri dan Organisasi. UIP: Jakarta

Thursday, March 9, 2017

KELOMPOK DAN TIM


Kelompok dan tim adalah bagian dari organisasi. Organisasi sendiri merupakan kumpulan manusia, sistem, dan teknologi yang saling melakukan komunikasi atau berinteraksi dalam suatu ikatan nilai, yang memiliki target untuk mencapai suatu tujuan bersama. Organisasi dapat digambarkan sebagai kumpulan individu yang diatur dalam kelompok-kelompok dan berinteraksi dengan hubungan saling bergantung satu sama lain (McKenna, 2012).

Bukankah kelompok dan tim sama saja?
Kelompok dan tim merupakan dua konsep yang berbeda.


KELOMPOK
Kelompok adalah dua atau lebih individu yang berinteraksi dan berkumpul untuk mencapai suatu tujuan (Robbins, S.P., & Judge, T.A., 2013). Salah satu bentuk kelompok adalah kelompok kerja.

Kelompok kerja adalah kumpulan individu yang melakukan interaksi untuk saling bertukar informasi, membuat keputusan, dan saling membantu dengan kewenangannya masing-masing. Sebuah kelompok kerja tidak perlu melakukan pekerjaan gabungan yang memerlukan usaha gabungan dari setiap anggotanya, sehingga tidak terbentuk sinergi (keputusan bersama) yang positif (Robbins, S.P., & Judge, T.A., 2013).


TIM 
Berbeda dengan kelompok kerja, tim kerja adalah kumpulan individu yang menghasilkan sinergi positif melalui usaha kerjasama. Tim kerja berpotensi mendapatkan hasil yang lebih besar dengan usaha bersama yang disumbangkan oleh setiap anggotanya (Robbins, S.P., & Judge, T.A., 2013).

Terdapat empat macam tim (Robbins, S.P., & Judge, T.A., 2013)  yaitu :

1. Problem solving-teams, yaitu tim yang terdiri dari 12-15 individu dari satu bagian/departemen untuk mendiskusikan hal-hal terkait improvisasi kualitas, meningkatkan efisiensi dan mengenai lingkungan kerja.

2. Self-managed work teams, yaitu tim yang terdiri dari 10-15 individu yang mengambil alih tanggungjawab supevior.

3. Cross-functional teams, yaitu tim yang terbentuk dari individu-individu yang berada pada level yang sama namun berasal dari ruang lingkup kerja yang berbeda untuk saling bekerjasama.

4. Virtual teams, yaitu tim yang bekerja menggunakan teknologi untuk mengikat para anggotanya agar mencapai tujuan tim.


ALASAN PEMBENTUKAN KELOMPOK
Kelompok dibentuk untuk memenuhi sosial identity theory, yaitu mengembangkan identitas sosial dalam bentuk (Robbins, S.P., & Judge, T.A., 2013) :


1. Similarity, memiliki kesamaan karakteristik dengan orang lain.

2. Distinctiveness, yaitu mendapatkan identitas istimewa yang membedakan kelompok dengan kelompok lain.

3. Status, yaitu untuk mendeskripsikan diri dan memperoleh harga diri.

4. Uncertainty reduction, yaitu membantu menjelaskan kecocokan diri seseorang di dunia.



KARAKTERISTIK KELOMPOK
Karakteristik yang ada pada kelompok (McKenna, 2012) yaitu :

1. Norms, yaitu norma sosial yang mengatur hubungan antar individu, menjadi pandauan terhadap perilaku, dan menjadi panduan pengerjaan tugas.

2. Cohesiveness, yaitu kepaduan yang ada ketika ada kesepakatan untuk mematuhi nilai, kepercayaan, dan tujuan kelompok.

3. Communication & Interaction yaitu terdapat interaksi antar anggota kelompok.

4. Structural factors, yaitu struktur, peran, status, komposisi, ukuran, dan kepemimpinan.



JENIS-JENIS KELOMPOK
Terdapat lima jenis kelompok (McKenna, 2012) yaitu :

1. Formal dan informal
Kelompok formal adalah kelompok yang telah menetapkan tujuan dan peran anggota sejak awal terbentuknya kelompok. sedangkan kelompok informal menetapkan tujuan dan peran berdasarkan interakasi yang sedang terjadi di antara anggota.

2. Primer dan sekunder
Kelompok primer mencangkup ukuran kelompok yang kecil, interaksi langsung, dan terdapat hubungan yang erat antar anggotanya. sedangkan kelompok sekunder merujuk kepada jarak yang lebih jauh antar anggota secara georgrafis.

3. Co-acting, yaitu kelompok yang anggotanya  saling bergantung walaupun memiliki pekerjaan yang berbeda.

4. Counteracting, yaitu kelompok yang memiliki tujuan yang berbeda dan berkompetisi untuk ide-die unik. 

5. Reference, yaitu kelompok yang dapat memepengaruhi pandangan seeorang ketika menjadi anggotanya.


MEMBENTUK KELOMPOK KERJA YANG DINAMIS
Pembentukan kelompok kerja yang dinamis dapat dilakukan melalui lima tahap berikut (Robbins, S.P., & Judge, T.A., 2013) : 


1. Forming stage, yaitu menentukan alasan harus dibentuknya kelompok dan perilaku apa saja yang dapat diterima dalam kelompok.

2. Storming stage, masing-masing individu berusaha menerima eksistensi kelompok walaupun dapat terjadi konflik, sehingga dibutuhkan sosok yang dapat mengontrol.

3.  Norming stage, yaitu penyusunan struktur, visi misi, dan peraturan kelompok.

4. Performing, yaitu memahami dan melaksanakan tugas.

5. Adjourning stage, yaitu pencapaian hasil.



KELOMPOK KERJA YANG EFEKTIF VS. TIDAK EFEKTIF


Agar kelompok kerja menjadi efektif yang harus dilakukan adalah (Robbins, S.P., & Judge, T.A., 2013) :




Daftar Pustaka
Robbins S. P., & Judge A. T. (2013). Organizational Behavior Fifteenth Edition. Pearson: England.

McKenna, E. (2012). Business Psychology and Organizational Behaviour Fifth Edition. Psychology Press : New York.
.